ketika David Beckham untuk pertamakalinya  berlatih dengan pemain Real Madrid, pertanyaan pertama yang diajukan  rekan barunya bukan bagaimana rasanya pindah ke Spanyol. Bukan pula akan  tinggal didaerah mana di Madrid. Tentu juga bukan tentang istrinya,  Victoria alias Posh Spice. Tetapi, "Bagaimana rasanya bermain dalam satu  tim dengan Paul Scholes?"
Ya. Paul Scholes. Si pucat yang  merupakan gelandang menyerang dari Manchester United. Walau penggemar  sepakbola sering meremehkan pemain ini, tetapi dalam khazanah para  jawara sepakbola di Eropa, namanya memang diunjung tinggi.
Bahkan  sang maestro pemain tengah Eropa Zinedine Zidane menyebutnya sebagai  pemain tengah terbaik untuk generasinya. Belum lama ini dalam sebuah  wawancara ia mengaku menyesal tidak pernah berkesempatan bermain dengan  Scholes. Maklum walau klub-klub besar Eropa tertarik, Paul Scholes tidak  pernah ingin bermain untuk klub lain kecuali Manchester United.
Paul  Scholes adalah salah satu anggota generasi emas Man United tahun 90-an  bersama David Beckham, Ryan Giggs, Nicky Butt, dan Neville bersaudara.  Tetapi dibandingkan kelima rekan angkatannya, profil Scholes seperti  lepas dari radar.
Mungkin persoalannya adalah pribadi Scholes  yang sangat pemalu dan secara sengaja menutup diri dari sorotan. Ia  sangat jarang memberikan wawancara kepada wartawan, tidak pernah datang  ke pesta-pesta selebriti, sangat pendiam bahkan dengan teman-teman  akrabnya. Konon selama hampir dua puluh tahun bersepakbola ia baru empat  kali memberi wawancara eksklusif. 
Scholes bisa dikatakan satu  dari sedikit pemain bola yang tidak pernah mengekpresikan diri kecuali  di dalam lapangan. Setelah Eric Cantona mundur dialah denyut yang  menjalin permainan lini pertahanan ke garis penyerangan Man United.  Permainan satu-duanya diakui para pesepakbola sebagai yang terbaik di  Eropa. Umpan-umpannya baik yang menelusur tanah maupun lambung sama  akuratnya dan mematikan. Imajinasinya dalam memberi umpan tidak lumrah.
Yang  luar biasa, menurut Ruud Gullit, adalah Scholes bisa melakukan semua  itu dengan sangat sederhana. Sehingga yang ia lakukan seolah bukanlah  sesuatu yang luar biasa. Itulah sebabnya, masih menurut Gullit, penonton  melihatnya sebagai biasa-biasa saja, tetapi rekan maupun lawan sering  terbengong-bengong. 
Bukan sekadar menjalin serangan, ia sendiri  seorang penyerang berbahaya baik dengan kaki maupun kepalanya. Ia mampu  mencetak gol spektakuler dengan tendangan jarak jauhnya yang terkenal  keras dan akurat. Tak heran kalau ia sudah mencetak 150 gol untuk Man  United. Cukup bagus untuk seorang gelandang.
Menyebut sukses Man  United usai Cantona, orang akan menyebut Beckham, Giggs, Keane, Cole,  Yorke, Solksjaer dan nama-nama besar lainnya. Tetapi cabutlah Paul  Scholes dari tim Man United itu maka semua pemain bintang itu akan  mengatakan jangan. Itulah sebabnya semua pemain boleh silih berganti  tetapi Paul Scholes tetap menjadi pantek Man United.
Namun  seperti telah dikatakan, ia bisa tampil sangat hebat di lapangan tetapi  begitu pertandingan usai dan wartawan berebut ingin mewancarainya, ia  menghilang dari pencarian. Orang tidak pernah tahu apa yang dipikirkan  maupun pandangan-pandangannya mengenai berbagai hal menyangkut  sepakbola.
Misalnya orang sangat ingin tahu mengapa ia memutuskan  untuk mundur dari tim nasional Inggris lima tahun lalu. Isu yang  beredar ia tidak suka dengan gaya permainan yang ditampilkan Sven Goran  Eriksson dan bosan dimainkan di posisi yang bukan menjadi posisi  terbaiknya. Tetapi ia tak pernah mengatakan apapun sama sekali. Tidak  menjelekkan, tidak mengritik, tidak mencela.
Steve Mclaren yang  menggantikan Sven, membuang David Beckham tetapi dua kali membujuk  Scholes untuk kembali ke tim nasional. Dua kali pula Scholes menolak  dengan alasan ingin lebih meluangkan waktu untuk keluarga.
Bahkan  diusianya yang ke-35, ketika kemampuannya sudah menurun terutama  staminanya untuk menusuk ke kotak penalti, Fabio Capello membujuk untuk  ikut ke Piala Dunia Afrika Selatan. Scholes menolak dengan alasan, salah  satunya, tidak enak dengan pemain lain yang sudah berjuang untuk  Inggris selama babak penyisihan.
Belum lama lalu ia mengaku  menyesal tidak memenuhi panggilan itu. Itulah sebabnya kini terbetik  berita Capello ingin memanggilnya untuk penyisihan Piala Eropa. Padahal  pada saat bersamaan ia menutup pintu untuk pemain seangkatan Scholes  dengan profil terbesar di Inggris, David Beckham dengan alasan sudah  terlalu tua.
Sentimen Capello untuk pemain tua ini tidak luar  biasa. Ambil misal pelatih jenial Arsenal Arsene Wenger. Belum lama ini  ia masih mengatakan, kalau boleh memilih semua pemain Liga Primer yang  ada, maka Scholes lah pemain pertama yang ada di susunan pemainnya.  Carlo Ancelotti juga menyampaikan sentimen yang sama. Mungkin ini sudah  agak usang karena dikatakan ketika ia masih memegang AC Milan. 
Anak  asuhnya saat itu akan bertemu dengan Man United di Piala Champions. Di  hadapan wartawan ia mengatakan tidak satupun pemain Man United akan  masuk ke 11 pemain utama Milan. Padahal disitu ada Ryan Giggs, Cristiano  Ronaldo, Wayne Rooney dan sejumlah nama lain. Tetapi Ancelotti kemudian  terdiam sebentar lalu berkata, "Yahhhh… kecuali Paul Scholes".
www.detiksport.com

 
waaah seteru! haha
BalasHapus