nasib PKL
Siapa  di antara kita yang bisa terpisah dengan Pedagang Kaki Lima (Kanan-kiri  lintas manusia/PKL)? Bisa dipastikan bahwa semua penduduk, terutama  yang berada di kota besar sering menggunakan jasa mereka. Mereka  mengobati rasa haus kita dengan sebotol minuman segar ketika kita turun  dari angkutan yang begitu pengap. Kadang rasa pening ketika menyerang  tiba-tiba sewaktu kita menyusuri kota, PKL juga dengan segera  meringankannya dengan menyediakan minyak gosok.
Begitu  menjamurnya PKL di sepanjang ruas jalan kota, dari jalan protokol hingga  gang-gang sempit, menyiratkan begitu besar potensi mereka. Data tahun  2002 yang dipublikasikan oleh Sinar Harapan, menyebutkan tidak kurang  dari 141 ribu PKL menyesaki jalanan di 5 wilayah di DKI. Anggap saja  masing-masing menghidupi 4 jiwa, maka hampir 600 ribu manusia hidup dari  ber-PKL.
Namun kita seringkali kita mendengar, melihat, membaca  berita tentang penggusuran para pencari nafkah di jalanan ini dengan  alasan ketertiban kota. Pemerintah, dengan aparat satpol PP-nya, seakan  tidak memedulikan hak mereka untuk hidup dan berbagi rejeki di kota  metropolitan ini. Namun diantara mereka, para PKL, terkadang juga  melanggar hak pemakai jalan dan warga kota yang ingin berlalu-lintas  dengan nyaman dan menikmati indahnya kota Jakarta.
Dengan  berbagai pro-dan kontra atas keberadaan PKL tersebut, kita semua dan  pemerintah agaknya perlu mencarikan solusi yang tepat. Ketika tiba-tiba  kita haus dan lapar di tengah jalan, bisa segera mendapatkan solusi, dan  tetap bisa berlalu-lintas dengan nyaman. Sementara mereka yang selama  ini hidup dari berjualan di jalan raya juga tetap mendapatkan peluang  berjualan, tanpa mengurangi hak pemakai jalan. Adakah kedua kepentingan  tersebut bisa diakomodir dengan sebuah konsep/cara yang lebih adil? 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar