Siapa yang tak tersentuh hatinya melihat pedagang kecil, PKL, terus-terusan digusur oleh Polisi Pamong Praja. Sementara mereka bayar juga uang 'jago' kepada oknum Pemda, tapi begitu digusur tak ada kebijakan sedikit pun untuk beri waktu membongkar lapak dagangannya. Tapi, itulah nasib PKL di negeri kita. Dan, seminggu setelah digusur, mereka pun muncul lagi. Tentu saja dengan membayar upeti lagi kepada oknum tertentu. Apakah ini bagian dari ketahanan pedagang kecil yang harus ngotot mencari makan? Sementara, pedagang bermodal kakap dengan mudah membina dan mengembangkan usahanya dengan cara membuka mal-mal, supermarket di sana-sini, yang notabene justru membuat jalan sekitar menjadi macet.
Namun, ada sisi lain tentang kejujuran berdagang pada kedua pedagang yang berlainan modal itu. Sehingga lambat laun masyarakat banyak yang menggemari berbelanja di mal atau supermarket.
Masyakarat kita kini mulai asyik dengan yang serba instan. Belanja keperluan dapur pun mereka enggan tawar-menawar. Jadi, ke supermarket adalah jawaban yang tepat untuk melakukan transaksi utuh. Apalagi melihat harga yang dipasang pun tidak mahal-mahal amat. Timbangannya pun tidak neko-neko. Pas. Coba bayangkan jika Anda beli sesuatu di pasar tradisional. Katakanlah beli sekilo daging. Apakah Anda yakin daging tersebut segar? Dan apakah Anda yakin kalau timbangan mereka itu benar-benar pas? Kalau yakin timbang lagi di rumah. Dan lihat hasilnya. Belum lagi daging tersebut adalah daging glonggongan (sapi yang diminumi air sebanyak-banyak sebelum dipotong). Begitulah pendapat sebagian masyarakat kita yang memilih berbelanja di supermarket.
"Saya bukannya nggak kasihan. Tapi coba saja beli buah-buahan di pinggiran jalan Pasar Rebo menuju terminal Kampung Rambutan. Kita beli satu kilo buah begitu di rumah kita timbang dapatnya cuma tujuh ons. Berarti kehilangan 3 ons," ujar Nurbaeti, seorang staf di Klinik Cibubur dekat Lapangan Tembak.
Menurutnya, belanja di supermarket timbangannya lebih jujur. Jadi konsumen puas. Apalagi barangnya pun pilihan. Konsumen dijamin tidak tertipu.
Para pedagang di sekitar Pasar Rebo dekat Kampung Rambutan memang sudah lama ditengarai konsumen yang pernah berbelanja buah di sana. Umumnya, setelah ditimbang di rumah mereka merasa tertipu. "apa iya hanya kurang 2-3 ons kita harus balik lagi ke sana, Sementara rumah kita jauh, " tutur Beti.
Walau begitu, bukan berarti pedagang PKL ini kehilangan pelanggannya. Yang beli pasti ada saja. tapi pedagangnya sangat tidak menyadari bahwa perbuatan mengurangi timbangan adalah perbuatan tidak etis dan berdosa menurut agama manapun.
Kini, apa yang biasa dijajaki pedagang kecil di pinggir jalan, pengusaha supermarket pun tak mau ketinggalan. Boleh dibilang, semua yang Anda butuhkan ada di supermarket. Contohnya, dulu kalau kita mau makan "kerak telor" kuliner ala Betawi ini, kita bisa makan kalau ada pembukaan Jakarta Fair. Tapi sekarang, ada atau tidak Jakarta Fair, Anda bisa temukan kerok telor di mal-mal atau supermarket sekelas Giant, Carrefour, atau Hypermart. Dengan merogoh kocek Rp 13.500 Anda bisa menikmati kerak telor ala Betawi ini.
Begitu pula jika Anda beli durian alias duren. Orang sekarang kalau mau beli duren di pinggir jalan mikir dua kali karena begitu dibawa pulang, durennya banyak persoalan. Busuklah, nggak manislah. Manis tapi nggak gurihlah. Selain harganya mahal, barangnya pun belum tentu memuaskan. Tapi, jika beli duren monthong di Giant, atau supermarket lainnya, harganya beli melesat jauh ke bawah. Selain harganya jadi murah, pun buahnya tidak mengecewakan.
Dari persoalan ini, setidaknya, para pedagang kaki lima sudah bisa bercermin dalam rangka memperbaiki layanannya. Karena, masih banyak konsumen yang cinta belanja di pinggir jalan atau di PKL. Juga menyangkut timbangan tak perlu diberat-beratkan dengan besi berani atau melubangi kiloannya yang terbuat dari kuningan itu.
Namun, ada sisi lain tentang kejujuran berdagang pada kedua pedagang yang berlainan modal itu. Sehingga lambat laun masyarakat banyak yang menggemari berbelanja di mal atau supermarket.
Masyakarat kita kini mulai asyik dengan yang serba instan. Belanja keperluan dapur pun mereka enggan tawar-menawar. Jadi, ke supermarket adalah jawaban yang tepat untuk melakukan transaksi utuh. Apalagi melihat harga yang dipasang pun tidak mahal-mahal amat. Timbangannya pun tidak neko-neko. Pas. Coba bayangkan jika Anda beli sesuatu di pasar tradisional. Katakanlah beli sekilo daging. Apakah Anda yakin daging tersebut segar? Dan apakah Anda yakin kalau timbangan mereka itu benar-benar pas? Kalau yakin timbang lagi di rumah. Dan lihat hasilnya. Belum lagi daging tersebut adalah daging glonggongan (sapi yang diminumi air sebanyak-banyak sebelum dipotong). Begitulah pendapat sebagian masyarakat kita yang memilih berbelanja di supermarket.
"Saya bukannya nggak kasihan. Tapi coba saja beli buah-buahan di pinggiran jalan Pasar Rebo menuju terminal Kampung Rambutan. Kita beli satu kilo buah begitu di rumah kita timbang dapatnya cuma tujuh ons. Berarti kehilangan 3 ons," ujar Nurbaeti, seorang staf di Klinik Cibubur dekat Lapangan Tembak.
Menurutnya, belanja di supermarket timbangannya lebih jujur. Jadi konsumen puas. Apalagi barangnya pun pilihan. Konsumen dijamin tidak tertipu.
Para pedagang di sekitar Pasar Rebo dekat Kampung Rambutan memang sudah lama ditengarai konsumen yang pernah berbelanja buah di sana. Umumnya, setelah ditimbang di rumah mereka merasa tertipu. "apa iya hanya kurang 2-3 ons kita harus balik lagi ke sana, Sementara rumah kita jauh, " tutur Beti.
Walau begitu, bukan berarti pedagang PKL ini kehilangan pelanggannya. Yang beli pasti ada saja. tapi pedagangnya sangat tidak menyadari bahwa perbuatan mengurangi timbangan adalah perbuatan tidak etis dan berdosa menurut agama manapun.
Kini, apa yang biasa dijajaki pedagang kecil di pinggir jalan, pengusaha supermarket pun tak mau ketinggalan. Boleh dibilang, semua yang Anda butuhkan ada di supermarket. Contohnya, dulu kalau kita mau makan "kerak telor" kuliner ala Betawi ini, kita bisa makan kalau ada pembukaan Jakarta Fair. Tapi sekarang, ada atau tidak Jakarta Fair, Anda bisa temukan kerok telor di mal-mal atau supermarket sekelas Giant, Carrefour, atau Hypermart. Dengan merogoh kocek Rp 13.500 Anda bisa menikmati kerak telor ala Betawi ini.
Begitu pula jika Anda beli durian alias duren. Orang sekarang kalau mau beli duren di pinggir jalan mikir dua kali karena begitu dibawa pulang, durennya banyak persoalan. Busuklah, nggak manislah. Manis tapi nggak gurihlah. Selain harganya mahal, barangnya pun belum tentu memuaskan. Tapi, jika beli duren monthong di Giant, atau supermarket lainnya, harganya beli melesat jauh ke bawah. Selain harganya jadi murah, pun buahnya tidak mengecewakan.
Dari persoalan ini, setidaknya, para pedagang kaki lima sudah bisa bercermin dalam rangka memperbaiki layanannya. Karena, masih banyak konsumen yang cinta belanja di pinggir jalan atau di PKL. Juga menyangkut timbangan tak perlu diberat-beratkan dengan besi berani atau melubangi kiloannya yang terbuat dari kuningan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar